SELAMAT DATANG DI NIRATA

Tuesday, April 15, 2014

PEMERINTAHAN DI KABUPATEN OKU SEBELUM INDONESIA MERDEKA

Oleh : H. Ahmad Haidar. ( pemerhati sejarah OKU )                

Didalam menyambut hari jadi  Kabupaten Ogan Komering Ulu yang ke-103,  yang jatuh pada tanggal 29 Juli nanti,   penulis  mengajak pembaca sekalian berselancar ke dunia masa silam, ke masa  sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jauh sebelum Kesultanan Palembang  berdiri daerah uluan sudah didiami oleh  jurai-jurai suku Melayu kerajaan Sriwijaya yang mengungsi ke daerah pedalaman akibat  adanya 2 kali serangan besar  pertama serangan Raja Rayendra Bercola dari India pada tahun 1252, dan yang kedua  serbuan dari Majapahit pada tahun 1377.  Parameswara raja terakhir ke- rajaan Sriwijaya  beserta pengikutnya  terpaksa menyingkir ke daerah Tumasik ( Singa pura ) serta  sempat menjadi penguasa Tumasik dari Tumasik  Parameswara menyebe- rang ke Semenanjung Malaka  dan mendirikan kerajaan Malaka  pada tahun 1402. Kera- jaan Malaka berkembang pesat dan mengusai  jalur perdagangan Asia Tenggara. Seiring berkembangnya zaman, Islampun masuk secara damai ke Malaka, Parameswara beserta keluarga dan pengikutnya beramai-ramai masuk Islam dan Parameswara mengganti na- manya menjadi Muhammad Iskandar Syah. Kerajaan Malaka berjaya sampai tahun 1551. Walaupun kota Malaka sempat jatuh direbut bangsa Portugis pada tahun 1511, Kerajaan Malaka tetap berdiri dengan pusat kerajaannya berpindah-pindah. Selama kurun waktu kurang lebih 150 tahun, anak cucu Muhammad Iskandar Syah sebagai Sultan-sultan penguasa  kerajaan Malaka berhasil memperluas pengaruhnya  sampai ke  Pesisir Pulau Sumatera,  Pesisir Kalimantan, Thailan Selatan, Filipina Selatan ,  Sulawesi Selatan Ternate Tidore, dll. Ajaran Islampun ikut berkembang di wilayah-wilayah tersebut. Sebe lum Kesultanan Palembang Darussalam berdiri, masyarakat kota Palembang  dan daerah Uluan sudah banyak yang memeluk Islam.

Pada masa itu di daerah uluan belum mengenal sistim administratif pemerintahan, yang ada hanyalah jurai-jurai atau gugok ( keluarga ) yang berkumpul mendirikan talang dan apabila sudah menetap  talang-talang tersebut berubah menjadi dusun. Pada awalnya  daerah uluan belum mengenal istilah kerio, pasirah ataupun marga-marga.. Pemimpin sesuatu luhak ( daerah )  bergelar BATIN, dan sebutan  untuk pemimpin urusan agama  adalah SIAK/LEBI/LEBAI, dan  sering juga  seorang Batin  rangkap jabatan sebagai Siak. Pada masa itu  daerah masih luas dan manusia masih sedikit, sehingga antara batin-batin  belum mempunyai batas wilayah yang jelas.

Hubungan dengan pihak Kesultanan Palembang belum sebagai daerah takluk, melainkan hanya sebagai persahabatan. Satu tahun sekali, batin-batin dan lebi-lebi  uluan diundang bersama-sama datang ke Istana Sultan di Palembang, sebagai tanda  silaturahim dan per -saudaraan. mereka datang membawa oleh- oleh sebagai buah tangan, Sultan pun memba- las pula dengan jinjingan. bingkisan. Dikemudian hari oleh-oleh tadi berobah menjadi upeti dan balasan dari Sultan menjadi Anugerah. Persaudaraan berangsur-angsur menjadi bawahan. Sukarela berubah menjadi suatu keharusan. Perlahan tapi pasti tanpa disadari  akhirnya  BATIN itu sudah berubah menjadi daerah takluk kesultanan Palembang.

Pada  zaman kesultan Palembang ( 1659 -1823 ), pengaturan pemerintahan  dibagi berda sarkan  wilayah divisi-divisi batang hari ( sungai ) seperti  Divisi Sekalian Jajahan Batang Hari Komering, Divisi Sekalian Jajahan Batang Hari Ogan  dll, yang dikepalai oleh se - orang yang bergelar  Kiai Temenggung. Sedang untuk Pemerintahan  Dusun dikepalai oleh seorang Kerio dan kumpulan beberapa dusun dinamakan  Marga  yang dikepalai oleh seorang Pasirah/Depati  untuk urusan agama dipimpin oleh seorang Penghulu. Untuk gelar Pangeran bagi seorang Depati yang cakap dan loyal  kepada kolnial Belanda, baru dikenal pada masa pemerintahan kolonial Belanda. .

Pada tahun 1821 Sultan Mahmud Badaruddin II dikalahkan Belanda, beliau ditangkap dan diasing ke Ternate sampai wafat disana, pun demikian juga sultan penggantinya  Sultan Ahmad Najamuddin III  pada tahun 1823 dikalahkan dan ditangkap Belanda , sultan Ahmad Najamuddin III diasingkan ke Flores. Dengan diasingkannya kedua Sultan terakhir ini Kesultanan Palembang menjadi lemah dan dengan mudah Kolonial Belanda menguasai Kesultanan Palembang dan secara resmi pada tanggal 7 Oktober 1823  kesultanan Palembang dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Secara bertahap dan perlahan Belanda  mulai mengusai daerah uluan ( pedalaman  ) yang kaya dengan hasil hutan dan hasil buminya. Daerah Kabupaten OKU baru dapat dikuasai Belanda kira-kira pada tahun 1860 dan daerah Aji Lawang ( Muaradua ) pada tahun 1874.

Sistem pemerintahan desa pada zaman Kesultanan Palembang tetap dipertahankan oleh Pemerintah Belanda  yang tentu saja  dibuatkan peraturan-peraturan baru yang meng untungkan pihak Belanda.

Untuk meningkatkan kwalitas atas kontrol jalannya pemerintahan, Kolonial Belanda menetapkan wilayah bekas Kesultanan Palembang  menjadi Daerah Adiministratif Keresidenan Palembang dengan kepala pemerintahan dijabat oleh seorang  Resisden bangsa Belanda yang berkedudukan di kota Palembang.

Keresidenan Palembang dibagi lagi menjadi 6 daerah administratif yang dinamakan Afdeeling, setiap Afdeeling diperintah oleh seorang  Asisten Residen bangsa Belanda. Dizaman sekarang Asisten Residen dikenal sebagai Bupati dan Afdeeling sebagai Kabupaten. Pada tanggal 16 Januari 1878 kolonial Belanda menetapkan Afdeeling Komering , Ogan Oeloe en Enim en de Ranaoe Distrikten dengan ibu kotanya Moeara Doewa ( Muaradua ),  G.J. du Cloux sebagai Asisten Residennya. Seiring dengan perkembangan social politik dan ekonomi, pada tanggal 29 Juli 1910 pemerintah kolonial Belanda  memindahkan ibu negerinya ke Batoeradja dan merubah nama Afdeeling tersebut diatas  menjadi  Afdeeling Ogan en Komering Oeloe  serta  meng- hilangkan  kata-kata en Enim en de Ranau Distrikten. Pada waktu itu yang menjabat sebagai Asisten Resident  adalah  G.F.A. Buscher. Dengan dasar inilah  Pemerintah Daerah Kabupaten OKU menetapkan  tanggal 29 Juli sebagai hari jadi Kabupaten OKU.

Untuk memudahkan jalannya roda pemerintahan, kolonial Belanda  membagi  Afdeeling-Afdeeling menjadi  daerah daerah Onder Afdeeling  ( Kewedanaan )  yang dikepalai oleh seorang Belanda dengan jabatan sebagai Controluer  ( konteril ) yang dibantu oleh seorang bangsa pribumi dengan jabatan Demang ( Wedana ), Onder Afdeeling dibagi lagi menjadi beberapa onderdistrict yang dikepalai oleh seorang bangsa pribumi dengan jabatan sebagai  Asisten Demang/Wedana  ( sekarang Camat ).

Pada tanggal  16 Januari 1878  Afdeeling  Komering  en Ogan Oeloe  en  Enim en de Ranaoe  Distrikten dibagi menjadi 3 Onder Afdeeling masing-masing  sbb.:

1. Onder Afdeeling Komering Oeloe dengan Moeara Doewa sebagai ibu negerinya dan
    J.H. Hisgen menjabat sebagai Controleur. Dikemudian hari pada tanggal 29 Juli 1910   
    ibu negerinya dipindahkan kota Martapoera.,  I.D. de Roock  sebagai Controluer.

2.. Onder Afdeeling  Ogan Oeloe en Enim dengan pusat perintahannya  di  Batoeradja,
     J.W. Paln  ditunjuk sebagai Controleur. Namun pada tgl. 29 Juli 1910 ibu negeri
     nya dipindahkan ke Loeboek Batang  dengan nama  Onder Afdeeling Ogan Oeloe dan
     Controleurnya adalah D.L. Simon..Pada tanggal 18 Maret 1918 ibu negerinya kembali
     ke Batoeradja, tuan Konterilnya bertempat tinggal dirumah Kapolres sekarang ini.

 3. Onder Afdeeling  de Ranau Districten Bevattende de Landsch appen Semendo, Kisam
     en Mekakau dengan ibu negerinya Banding Agoeng. Juga pada tgl 29 Juli 1910  
     Onder Afdeeling ini berubah nama menjadi  Onder Afdeeling Moearadoea , ibu
     negerinya  kota Moearadoea  dan .M.H.L. de  Wikle de  Ligny menjabat sebagai
     Controluer.

Yang menarik dikemudian hari bahwa ketiga Onder Afdeeling ini  menjadi 3 kabupaten hasil pemekaran yakni:  kabupaten OKU,  kabupaten. OKU Timur dan kabupaten  OKU Selatan.

Pada masa Jepang menjajah Indonesia, pada dasarnya pemerintahan militer Jepang  tetap melanjutkan  sistim administratif  pemerintahan Kolonial Belanda hanya namanya saja yang berubah. Khusus untuk Sumatera, Pemintahan Militer Jepang  membaginya menjadi sembilan  wilayah  Shu ( Keresidenan ) yang dipimpin seorang Shucho yakni shu Suma - tera Timur,  Sumatera Barat,  Riau, Jambi,  Bengkulu, Palembang, Bangka dan Belitung. Untuk  wilayah Shu Palembang dibagi lagi menjadi eselon-eselon  wilayah sbb :Ken/Bun shu ( Kabupaten ) di pimpin oleh seorang Bunshucho ( Bupati ), Gun ( Kewedanaan ) dipimpin oleh Guncho ( Wedana )  Fokugon ( Kecamatan ) dipimpin oleh   Fokuguncho ( camat ),  Son ( Marga ) dipimpin  Soncho ( Pasirah ),  Ku ( dusun ) dipimpin Kucho       ( kerio ),  Buraku ( kampung )  dipimpin Burakucho ( ponggawa ).

Tulisan ini jauh dari sempurna, kiranya bagi siapa saja yang mempunyai sumber-sumber data mari kita bersama-sama saling melengkapi tulisan ini, semoga bermanfaat bagi kita semua terutama untuk pengetahuan kita dimasa yang akan datang. Wassalaam.

No comments:

Post a Comment