Oleh : H. Ahmad Haidar. ( pemerhati sejarah OKU )
Didalam
menyambut hari jadi Kabupaten Ogan
Komering Ulu yang ke-103, yang jatuh
pada tanggal 29 Juli nanti,
penulis mengajak pembaca sekalian
berselancar ke dunia masa silam, ke masa
sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jauh sebelum
Kesultanan Palembang berdiri daerah
uluan sudah didiami oleh jurai-jurai
suku Melayu kerajaan Sriwijaya yang mengungsi ke daerah pedalaman akibat adanya 2 kali serangan besar pertama serangan Raja Rayendra Bercola dari
India pada tahun 1252, dan yang kedua
serbuan dari Majapahit pada tahun 1377.
Parameswara raja terakhir ke- rajaan Sriwijaya beserta pengikutnya terpaksa menyingkir ke daerah Tumasik ( Singa
pura ) serta sempat menjadi penguasa
Tumasik dari Tumasik Parameswara menyebe-
rang ke Semenanjung Malaka dan
mendirikan kerajaan Malaka pada tahun
1402. Kera- jaan Malaka berkembang pesat dan mengusai jalur perdagangan Asia Tenggara. Seiring
berkembangnya zaman, Islampun masuk secara damai ke Malaka, Parameswara beserta
keluarga dan pengikutnya beramai-ramai masuk Islam dan Parameswara mengganti na- manya menjadi Muhammad
Iskandar Syah. Kerajaan Malaka berjaya sampai tahun 1551. Walaupun kota Malaka
sempat jatuh direbut bangsa Portugis pada tahun 1511, Kerajaan Malaka tetap
berdiri dengan pusat kerajaannya berpindah-pindah. Selama kurun waktu kurang
lebih 150 tahun, anak cucu Muhammad Iskandar Syah sebagai Sultan-sultan
penguasa kerajaan Malaka berhasil memperluas pengaruhnya sampai ke Pesisir Pulau Sumatera, Pesisir Kalimantan, Thailan Selatan, Filipina
Selatan , Sulawesi Selatan Ternate
Tidore, dll. Ajaran Islampun ikut berkembang di wilayah-wilayah tersebut. Sebe lum
Kesultanan Palembang Darussalam berdiri, masyarakat kota
Palembang dan daerah Uluan sudah banyak
yang memeluk Islam.
Pada masa itu di
daerah uluan belum mengenal sistim administratif pemerintahan, yang ada
hanyalah jurai-jurai atau gugok ( keluarga ) yang berkumpul mendirikan talang
dan apabila sudah menetap talang-talang
tersebut berubah menjadi dusun. Pada awalnya
daerah uluan belum mengenal istilah kerio, pasirah ataupun marga-marga..
Pemimpin sesuatu luhak ( daerah )
bergelar BATIN, dan sebutan untuk
pemimpin urusan agama adalah SIAK/LEBI/LEBAI, dan sering juga
seorang Batin rangkap jabatan
sebagai Siak. Pada masa itu daerah masih
luas dan manusia masih sedikit, sehingga antara batin-batin belum mempunyai batas wilayah yang jelas.
Hubungan dengan
pihak Kesultanan Palembang belum sebagai daerah takluk, melainkan hanya sebagai
persahabatan. Satu tahun sekali, batin-batin dan lebi-lebi uluan diundang bersama-sama datang ke Istana
Sultan di Palembang, sebagai tanda
silaturahim dan per -saudaraan. mereka datang membawa oleh- oleh sebagai
buah tangan, Sultan pun memba- las pula dengan jinjingan. bingkisan. Dikemudian
hari oleh-oleh tadi berobah menjadi upeti dan balasan dari Sultan menjadi
Anugerah. Persaudaraan berangsur-angsur menjadi bawahan. Sukarela berubah
menjadi suatu keharusan. Perlahan tapi pasti tanpa disadari akhirnya
BATIN itu sudah berubah menjadi daerah takluk kesultanan Palembang.
Pada zaman kesultan Palembang ( 1659 -1823 ),
pengaturan pemerintahan dibagi berda sarkan wilayah divisi-divisi batang hari ( sungai )
seperti Divisi Sekalian Jajahan Batang
Hari Komering, Divisi Sekalian Jajahan Batang Hari Ogan dll, yang dikepalai oleh se - orang yang
bergelar Kiai Temenggung. Sedang untuk
Pemerintahan Dusun dikepalai oleh
seorang Kerio dan kumpulan beberapa dusun dinamakan Marga
yang dikepalai oleh seorang Pasirah/Depati untuk urusan agama dipimpin oleh seorang
Penghulu. Untuk gelar Pangeran bagi seorang Depati yang cakap dan loyal kepada kolnial Belanda, baru dikenal pada masa
pemerintahan kolonial Belanda. .
Pada tahun 1821
Sultan Mahmud Badaruddin II dikalahkan Belanda, beliau ditangkap dan diasing ke
Ternate sampai wafat disana, pun demikian juga sultan penggantinya Sultan Ahmad Najamuddin III pada tahun 1823 dikalahkan dan ditangkap
Belanda , sultan Ahmad Najamuddin III diasingkan ke Flores. Dengan
diasingkannya kedua Sultan terakhir ini Kesultanan Palembang menjadi lemah dan
dengan mudah Kolonial Belanda menguasai Kesultanan Palembang dan secara resmi
pada tanggal 7 Oktober 1823 kesultanan
Palembang dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Secara bertahap dan
perlahan Belanda mulai mengusai daerah
uluan ( pedalaman ) yang kaya dengan
hasil hutan dan hasil buminya. Daerah Kabupaten OKU baru dapat dikuasai Belanda
kira-kira pada tahun 1860 dan daerah Aji Lawang ( Muaradua ) pada tahun 1874.
Sistem
pemerintahan desa pada zaman Kesultanan Palembang
tetap dipertahankan oleh Pemerintah Belanda
yang tentu saja dibuatkan
peraturan-peraturan baru yang meng untungkan pihak Belanda.
Untuk
meningkatkan kwalitas atas kontrol jalannya pemerintahan, Kolonial Belanda
menetapkan wilayah bekas Kesultanan Palembang
menjadi Daerah Adiministratif Keresidenan Palembang dengan kepala
pemerintahan dijabat oleh seorang
Resisden bangsa Belanda yang berkedudukan di kota Palembang.
Keresidenan
Palembang dibagi lagi menjadi 6 daerah administratif yang dinamakan Afdeeling,
setiap Afdeeling diperintah oleh seorang
Asisten Residen bangsa Belanda. Dizaman sekarang Asisten Residen dikenal sebagai Bupati dan Afdeeling sebagai
Kabupaten. Pada tanggal 16 Januari 1878 kolonial Belanda menetapkan Afdeeling Komering , Ogan Oeloe en
Enim en de Ranaoe Distrikten dengan ibu kotanya Moeara Doewa ( Muaradua ), G.J.
du Cloux sebagai Asisten Residennya. Seiring dengan perkembangan social politik dan ekonomi, pada tanggal 29
Juli 1910 pemerintah kolonial Belanda
memindahkan ibu negerinya ke Batoeradja dan merubah nama Afdeeling
tersebut diatas menjadi Afdeeling Ogan en Komering Oeloe serta
meng- hilangkan kata-kata en Enim
en de Ranau Distrikten. Pada waktu itu yang menjabat sebagai Asisten
Resident adalah G.F.A. Buscher. Dengan dasar inilah Pemerintah Daerah Kabupaten OKU
menetapkan tanggal 29 Juli sebagai hari
jadi Kabupaten OKU.
Untuk memudahkan
jalannya roda pemerintahan, kolonial Belanda
membagi Afdeeling-Afdeeling
menjadi daerah daerah Onder Afdeeling ( Kewedanaan ) yang dikepalai oleh seorang Belanda dengan
jabatan sebagai Controluer ( konteril )
yang dibantu oleh seorang bangsa pribumi dengan jabatan Demang ( Wedana ),
Onder Afdeeling dibagi lagi menjadi beberapa onderdistrict yang dikepalai oleh
seorang bangsa pribumi dengan jabatan sebagai
Asisten Demang/Wedana ( sekarang
Camat ).
Pada
tanggal 16 Januari 1878 Afdeeling
Komering en Ogan Oeloe en
Enim en de Ranaoe Distrikten
dibagi menjadi 3 Onder Afdeeling masing-masing
sbb.:
1. Onder
Afdeeling Komering Oeloe dengan Moeara Doewa sebagai ibu negerinya dan
J.H. Hisgen menjabat sebagai Controleur. Dikemudian
hari pada tanggal 29 Juli 1910
ibu negerinya dipindahkan kota
Martapoera., I.D. de Roock sebagai Controluer.
2.. Onder
Afdeeling Ogan Oeloe en Enim dengan
pusat perintahannya di Batoeradja,
J.W. Paln
ditunjuk sebagai Controleur. Namun pada tgl. 29 Juli 1910 ibu negeri
nya dipindahkan ke Loeboek Batang dengan nama
Onder Afdeeling Ogan Oeloe dan
Controleurnya adalah D.L. Simon..Pada
tanggal 18 Maret 1918 ibu negerinya kembali
ke Batoeradja, tuan Konterilnya bertempat
tinggal dirumah Kapolres sekarang ini.
3. Onder Afdeeling de Ranau Districten Bevattende de Landsch
appen Semendo, Kisam
en Mekakau dengan ibu negerinya Banding
Agoeng. Juga pada tgl 29 Juli 1910
Onder Afdeeling ini berubah nama
menjadi Onder Afdeeling Moearadoea , ibu
negerinya
kota Moearadoea dan .M.H.L.
de Wikle de Ligny menjabat sebagai
Controluer.
Yang menarik
dikemudian hari bahwa ketiga Onder Afdeeling ini menjadi 3 kabupaten hasil pemekaran
yakni: kabupaten OKU, kabupaten. OKU Timur dan kabupaten OKU Selatan.
Pada masa Jepang
menjajah Indonesia,
pada dasarnya pemerintahan militer Jepang
tetap melanjutkan sistim
administratif pemerintahan Kolonial
Belanda hanya namanya saja yang berubah. Khusus untuk Sumatera, Pemintahan
Militer Jepang membaginya menjadi
sembilan wilayah Shu ( Keresidenan ) yang dipimpin seorang
Shucho yakni shu Suma - tera Timur,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Palembang, Bangka dan Belitung. Untuk wilayah Shu Palembang dibagi lagi menjadi
eselon-eselon wilayah sbb :Ken/Bun shu (
Kabupaten ) di pimpin oleh seorang Bunshucho ( Bupati ), Gun ( Kewedanaan )
dipimpin oleh Guncho ( Wedana ) Fokugon
( Kecamatan ) dipimpin oleh Fokuguncho
( camat ), Son ( Marga ) dipimpin Soncho ( Pasirah ), Ku ( dusun ) dipimpin Kucho ( kerio ), Buraku ( kampung ) dipimpin Burakucho ( ponggawa ).
Tulisan ini jauh
dari sempurna, kiranya bagi siapa saja yang mempunyai sumber-sumber data mari
kita bersama-sama saling melengkapi tulisan ini, semoga bermanfaat bagi kita
semua terutama untuk pengetahuan kita dimasa yang akan datang. Wassalaam.
No comments:
Post a Comment